"Aku mau baso."
"Ya udah, baso satu, mie ayam satu. Basonya nggak pakai seledri, ya, Pak," tukas temanku kepada si mamang. Dia memang paling tahu kriteria makan baso kesukaanku.
Di tengah gerimis tipis, kutatap jalanan basah di depan sana. Ada adegan drama masa lalu tiba-tiba terputar ulang di antara tempias air hujan yang menggenang jalanan. Dengan asap baso di atas mangkuk yang kuabaikan. Dingin.
Di persimpangan ini, beberapa bulan lalu, persis ditemani sosok yang tengah menikmati mie ayamnya di depanku sekarang.
"Aku di Simpang Cijati, dekat mie ayam," Chat BBM masuk kala itu.
"Oke, aku ke sana," balasku dengan hati tersenyum.
Senyumku hanya sebatas rindu yang akan terbalas. Setelah itu, hanya kepura-puraan harus kuulas lagi. Derai tawa perjumpaan itu seolah, 'Aku sudah baik-baik saja', padahal aku adalah Ratu Drama paling pintar menyembunyikan rasa sakitnya yang begitu awet hinggap di tempat terdalam.
Transaksi jual-beli tunai dan dua kotak kue keju sudah di tangan pembelinya, kemudian suara adzan magrib mulai menggema seantero jalanan.
"Mau mampir ke rumah? Buka puasa dulu, deh." Senyumnya kembali kutemukan setelah sekian lama tak bertemu, membuat basah tertahan di pelupuk mataku.
Iya, Kak. Aku pengen ketemu adik dan bapakmu di rumahmu, aku pengen buka puasa bareng di tengah keluargamu yang selalu hangat menyapaku.
"Nggak usah, Kak. Aku harus ke rumah teman dulu, nanti buka di sana aja." Satu kalimat akhirnya berhasil menolak penawarannya dan keinginan yang harus kutekan.
Demi apa pun, senyumnya terus mengembang. Membuat segumpal hasrat di dalam tempat sunyi bernama hati itu terus bergejolak.
"Kakak harus antar kuenya ke tempat kerja Si Teteh, kan? Titip salam, ya? Maaf aku nggak bisa langsung antar ke sana." Aku pamit dan menghampiri temanku, dia menunggu di sepeda motornya.
"Deya ...." panggilan laki-laki itu menghentikan langkahku pergi. "makasih, ya," tukasnya, kubalikkan badan membalas senyumnya yang penuh tanda tanya, apalagi yang harus kubalas selain manggut dan tersenyum.
Sepanjang perjalanan aku menangis, memeluk sahabatku dari belakang di atas sepeda motor miliknya.
Diam yang kugantikan menjadi kejujuran, tak membuat rasa yang tak seharusnya itu jera. Bahkan seusai satu tahun lalu ketika akhirnya aku menuntaskan jatuh cinta diam-diam selama enam tahun itu. Perasaannya masih tetap ada, semakin dalam, masih tersimpan rapi walau pernah terbuka.
"Anggap saja ini hanya penyataan bukan pertanyaan yang harus kamu jawab, Kak. Rasa itu sudah ada, sejak kamu datang dan pergi di kehidupanku selama enam tahun ini. Jangan tanya kenapa bisa, karena kenyamanan bisa menimbulkan perasaan berbeda bagi siapa saja dan perasaan itu semakin kuat ketika merasa kehilangannya." Aku berhasil mengungkapkan perasaan yang terpendam itu di hari ulang tahunku. Dia hanya diam tanpa banyak menyanggah.
Satu tahun berlalu setelah kejadian itu. Seperti apa yang ku ucapkan, pernyataan dan ungkapan perasaanku benar-benar ia abaikan. Kami kembali dalam zona pertemanan seperti biasanya. Seolah tidak ada ungkapan apa pun dariku. Ia juga tak pernah segan memperkenalkan perempuan lain – kekasih yang seolah-olah ingin ia tunjukan kepadaku. Begitu pun aku yang berpura-pura bahagia memperkenalkan orang lain dalam kehidupanku kepadanya.
Dan beberapa bulan yang lalu di persimpangan itu, ku hanya sebagai penghantar kue, melengkapi kesempurnaannya sebagai laki-laki yang dipuja perempuan lain. Meski akhirnya perempuan itu membuatnya terluka. Dan kembali dari sana, justru membuat luka itu berpindah dan kembali muncul di dalam hatiku.
Lantas siapa yang jahat?
Aku menyakiti diri sendiri dengan jalan yang telah ku pilih. Dia menuruti apa yang aku inginkan. Dan aku, Drisana Deya Gauri berhasil menjadi tokoh yang berperan dalam drama ditulisnya sendiri.
Meski begitu, aku tetap menunggu Sang Penulis Takdir bisa membelokkan ceritanya.
Bagaimana aku bisa bangkit dan melupakanmu? Jika semua yang bertemu mataku selalu mengingatkan semua tentang kamu.
"De, ada whatsapp tuh!" tegur teman yang duduk di depanku, menghentikan drama yang terputar dalam lamunan.
Terlihat pop-up whatsapp muncul di layar seluler yang kuletakan di dekat mangkuk baso.
"Dari Kak Deri."
"Balas dong! Bilang kalo lagi di warung mie ayam dekat rumahnya." Laki-laki ini memang paling suka nyinyirnya secara langsung.
"Abaikan. Sudah satu bulan nggak kubalas chatnya. Cuma read doang," tukasku sambil melahap baso yang hanya kupotong-potong sedari tadi.
"Udah berhasil move on? Yakin seorang Drisana Deya Gauri nggak ingat sama kejadian di sana, bulan puasa kemarin?" godanya sambil menunjuk persimpangan jalan, membuatku tersenyum getir.
"Pak, air mineralnya dong satu. Pedes, ya?" Aku mengalihkan ocehan sahabatku yang tidak akan berhenti begitu saja.
Dia hanya tertawa, melihat aku menyeka air mata di balik kaca mata pelindung dramaku dan mulutku maju-mundur pura-pura kepedasan sambal.
Aku tahu laki-laki bernama Yogi di depanku ini cemburu. Ia selalu menyampingkan perasaan yang ia tahu tak akan terbalas olehku.
Perasaannya sama dengan perasaanku. Langkahnya sama dengan langkahku. Dengan tokoh yang berbeda. Hingga akhirnya memilih diam dan mencintai orang yang kita cintai dalam zona yang tak lebih dari sahabat. Berpura-pura bahagia adalah cara menguatkan hati yang tak ingin berambisi.
Pretending to be happy, when you're in pain is just an example of how strong you are as a person.


