RSS

SENJA YANG KURINDUKAN

    Malam itu suasana sangat ramai, semua orang terlihat begitu bahagia, akupun turut merasakannya. Merasakan begitu banyak rasa. Bahagia melihat akhirnya sahabat terbaikku menjadi perempuan yang sempurna. Sebelum nantinya insya Allah menjadi wanita yang sempurna. Aamiin. Terus kulantunkan doa sambil tersenyum menatapnya dari kejauhan. Haru kurasakan ketika menyaksikan bagaimana perjalanan hidupnya yang penuh dengan lika dan liku. Dari perempuan biasa yang tak mengerti apa-apa tentang kehidupan duniawi hingga menjadi perempuan 'nakal', sudut bibir kuangkat kala mengingatnya. Saat ini, luar biasa, subhanallah Allah telah memberikannya hidayah melalui laki-laki yang berada di sampingnya. Telah memberikan Ahyanti kehidupan yang baru, aku biasa memanggilnya Aya, dia teman, sahabat, saudara bahkan adik terbaik yang pernah aku milliki. Kami bersama sejak masih memperebutkan boneka barbie yang membuat kepala dan badannya terpisah, saling mencibir tentang nilai yang kami dapatkan di sekolah, hingga saat ini kusaksikan pula kehidupan barunya. Ternyata rasa ego juga membuatku harus bersedih malam ini. kuulas senyumku. Hari ini terakhir aku menjadi kakakmu yang penuh dengan aturan-aturan yang harus dipatuhi, yang penuh omelan saat kamu mencoba melakukan sesuatu yang tak pantas, menjadi saksi kesakitan saat semua kekasihmu ternyata tidak ada satupun yang setia. Cukup wajar untuk perempuan sepertimu, yang melewati masa remajanya dengan memiliki pacar lebih dari dua bahkan lima. 'Lihat nanti karma masih berlaku, Ya' selalu aku lemparkan kata-kata itu untuk membuatmu jera. Tapi ternyata adikku memang terlalu keras kepala dan masih belum bisa dewasa. Aku hanya memeluk dan mengusap punggungmu ketika perkataanku menjadi kenyataan yang membuatmu menangis semalamam. Sungguh aku selalu tersenyum geli mengingat semua tingkah lakumu itu. Ah sudahlah! Perasaan ini hanya akan merusak kebahagiaan semua orang.
“Li.. ngapain lu disitu, sini!” Perempuan dengan gaun yang menjuntai penuh keanggunan itu melambaikan tangannya kepadaku. Aku menghampirinya.
“Dari tadi gue cariin ternyata disana” peluk manjanya memang tak pernah berubah.
“Gue cari makanan”
“Ngapain cari makanan, Li. Mendingan cari calon suami.” Aya tergelak
mendengar celotehan lelaki disampingnya. Eh sudah menjadi suaminya sekarang.
“Nanti aja gue cari di masjid sebelah, puas lo!” Candaku membuat Aya dan suaminya semakin tergelak.
“Uhhh... masa di hari bahagia adik lo yang cantik ini mukanya di tekuk sih” Aya mencubit ujug daguku.
Drrtttt drttttt..
“Eh bentar gue angkat telepon dulu” kubuka ponsel yang berdering dan menjauhi keramaian, Aya dan suaminya mengangguk mengiyakan.
“Iya, bu nanti aku pulang, masa nginap, kasian dong pengantin barunya” kataku. Wanita parubaya yang suaranya terdengar serak itu sudah mulai bertanya-tanya seperti biasanya. Pulang nggak, pulang jam berapa, pulang dengan siapa. Meskipun aku jauh dari pengawasan orang tua namun ibuku tetap mengawasi lewat ponsel dan tentu melalui ibunya Aya. Kebetulan setelah lulus SMA keluarga Aya pindah dari Jogja ke Jakarta, aku ikut dengan mereka sambil melanjutkan kuliah. Meskipun bulan pertama aku tinggal di rumah baru Aya namun selanjutnya aku memutuskan untuk indeks kost sendiri sambil mencari pekerjaan sampingan. Ibuku tersayang. Aku rindu. Aku begitu mencintaimu.
“Wa'alaikumsalam..” Kuakhiri ketika salam penutup terdengar dari ujung telepon, aku kembali menghampiri Aya dan suaminya. Ternyata sudah banyak yang mengerubuninya. Mungkin mereka mau berfoto, pikirku. Sudah ada teman-teman kampus disana. Kebetulan aku, Aya dan suaminya memang satu kampus yang sama. Ada Via dengan pacar barunya Dimas, Angga dan Dista pasangan kekasih yang terkenal di kampus sering putus nyambung, dan sebelahnya yang tak kukenali. Mereka sudah berjajar menghadap Si Photografer yang siap memotret di depan pelaminan.
“Kurang satu orang lagi mbak, itu ganjil loh” Kata Si Photografer berlogat jawa tersebut sambil mengatur posisi yang pas.
“Lihawa aja, sini.. sini..” Tukas Aya sambil menunjuk kearahku.
“Kok gue.. Kan dari tadi gue udah foto” Kataku mengelak.
“Udah buruan! Kasian tuh si mas nggak ada temennya.” Suami Aya ikut memohon. Akhirnya aku menuruti dan bergabung dengan mereka.
“Oke siap yah.. satu.. dua.. ti..” Si Photografer menghentikan hitungannya.
“Masnya yang pake baju biru tolong lebih merapat nggeh, sedikit ke mbaknya yang pake baju biru” Atur Si Photografer. Mbak baju biru? Itu berarti aku. Ternyata laki-laki sebelahku juga mengenakan baju berwarna biru. Sialan.

^^^    

    “Lo yakin pulang?” Terlihat gurat khawatir di wajah Aya.
“Iya, tadi gue udah bilang sama Ibu nggak nginap dan langsung pulang, Ya”
“Kenapa nggak besok pagi aja, ini kan udah malam, Li” Suaminya ikut khawatir.
“Masa iya, gue harus nginap, nggak akh! Nanti gue gangguin malam pertama kalian, mau?!”
“Jangan.. jangan... ya udah mendingan lo pulang” Suaminya tergelak mendengar istrinya tiba-tiba panik. Aku tertawa geli.
“Aya, gue pulang dulu yah, sukses buat kalian” Pamit Dista.
“Sukses juga buat malam pertamanya” Disusul Angga dengan logat khasnya membuat Aya tergelak.
“Makasih yah, eh kalian pulang berdua?”
“Nggak, sama rombongan tadi.. hehe” Via dan Dimas yang sudah pamit sejak tadi mengangkat satu tangan dari kejauhan.
“Kebetulan, gue tahu kalian searah sama Li” Ujar Aya.
“Ya udah Lihawa ikut sama kalian aja” bubuh suaminya.
“Nggak.. nggak  usah.. gue udah panggil taksi kok”
“Gapapa lo ikut kita aja” Dista menyetujuinya.
“Tapi kan rumah lo jauh Dis?”
“Udah gampang itu mah” Dista langsung menarikku sebelum sempat aku berpamitan lagi dengan Aya.
“Hati-hati yah, Li!” Teriak Aya.

^^^

    “Kita nggak bisa kaya gini terus! Kita sudah sama-sama dewasa, harusnya kamu bisa lebih mengerti aku!”
“Apa yang bisa aku mengerti? Nyatanya selalu kamu yang membuat masalah-masalah kecil itu menjadi besar! Kamu yang nggak bisa dewasa, Li!”
“Terserah kamu mau ngomong apa, Mas. Bisnya sudah datang. Aku harus pulang. Kamu berdoa saja semoga aku kembali ke kota ini!”
“Assalamu'alaikum..” pamitku berlalu meninggalkannya. Laki-laki yang sudah sekitar satu tahun belakangan berada disampingku itu hanya berteriak memanggil namaku tanpa berlari mengejarku. Tega kamu, Mas!
“Jogja.. Jogja.. Magelang.. Jogja, Mbak?” Sapa salah satu calo, tanpa menghiraukannya aku langsung menaiki bis dan mencari tempat duduk yang masih kosong.
    Sepeluh menit berlalu bis masih belum berangkat meninggalkan Terminal Kota Solo, kuedarkan mataku ke arah luar jendela. Ternyata kamu memang tidak mengejarku, mas. Kuseka air mata yang sedari tadi merabas. Pada kenyataannya laki-laki itu tidak bisa membuktikan janji-janjinya untuk selalu menjagaku selama aku pindah ke Kota Solo. Aku sadar aku memang egois tapi tidakkah seorang laki-laki bisa lebih mengerti perasaan seorang perempuan. Selama ini aku menunggu janji-janjinya untuk segera bertemu dengan keluargaku di Jogja namun selalu dengan penuh banyak alasan sampai saat ini janji itu tidak pernah terbukti. Aya! Andaikan ia tahu semua permasalahku. Tiba-tiba aku sangat merindukan sahabatku itu.

^^^
    “Assalamu'alikum..” Pintu rumah sudah terbuka, kulihat ada mobil terparkir di halaman. Siapa yang bertamu?.
“Liiiiii...!!”
“Aya?!” perempuan itu memelukku dengan erat. Alhamdulillah. Setelah satu tahun lamanya aku bertemu lagi dengan adikku tercinta ini.
“Kamu kapan datang? Kok nggak ngabarin aku?”
“Sengaja! Mau ngasih kejutan. Hehe” Aya masih saja seceria dulu namun sepertinya penampilannya benar-benar berbeda. Gadis 'nakal' itu kini menggunakan pakaian yang tertutup, gamis biru muda menjuntai melekat di tubuhnya.
“Kamu kok makin kurus sih, Li?” tanpa disadari ternyata kita menggunakan aku-kamu. Sudah benar-benar berubahkah dia atau karena aku yang memulainya?. Semoga kita sama-sama berubah menjadi lebih baik. Aku tersenyum simpul kemudian duduk di atas kursi ruang tamu.
“Masa kurus sih, kamu kali yang makin gendut. Jangan.. jangan...” ujarku menggodanya. Aya manggut membenarkan dugaanku.
“Serius.. Berapa bulan? Ahhh selamat yahhh...” kami kembali saling berpelukan erat.
“Udah dua bulan, Li. Alhamdulillah akhirnya kami baru dikasih kepercayaan sekarang” bahagia merambas ke dalam hatiku. Merubah semua perasaan yang jelas-jelas berbeda dengan kejadian di terminal tadi pagi.
“Kamu kenapa, Li?” Aya ternyata masih dapat mengenali setiap ada kesedihan di wajahku yang kusembunyikan darinya.
“Masya Allah. Yo salim dulu atau piye toh, Ndug. Mentang-mentang sudah lama tidak bertemu pulang-pulang langsung curhat aja, lupa sama orang rumah.” Ibu tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Menyadari kedatangan putrinya yang tidak langsung menemuinya.
“Astagfirullah. Aku sampai lupa” aku menepak jidat kemudian menghampirinya. Mencium tangannya, kedua pipi kanan dan kirinya. Ibu, aku begitu merindukanmu.
“Bapak mana?”
“Tadi sih katanya ke rumah Pak RT, tapi kok sampai sekarang belum pulang juga.” Mungkin Bapak sedang ada urusan, pikirku.

^^^

Untuk sodariku
yang berada
dalam lindungan-Nya
    Assalamu'alaikum wr. wb.
Apa kabar Lihawa, sehat kah? Semoga kamu dan keluarga selalu dalam keadaan sehat dan selalu berada dalam lindungan-Nya. Maaf mungkin kabar ini terlalu mengejutkanmu, tapi apa boleh buat, harus segera saya sampaikan sebelum terlambat. Sudah saya pikirkan semuanya baik-baik insya Allah menjadi sebuah kebarokahan untuk kita semua.
    Aku harap kamu tidak terkejut, kecewa, bahkan membenci saya. Sudah satu tahun lamanya saya mencari kamu, bahkan mencari Aya sebagai sumber yang tepat untuk saya temui namun ternyata kamu telah kembali ke kota asalmu dan Aya juga ternyata di bawa oleh suaminya untuk menetap di Singapura. Tapi subhanallah minggu kemarin dengan tidak sengaja atau mungkin memang jalan dari-Nya saya bertemu Aya di Bandung bersama suaminya. Saya jelaskan semua niatan baik saya. Akhirnya Aya membantu saya untuk mempertemukan saya dengan orang tuamu. Alhamdulillah hari minggu kemarin saya sudah bertemu dengan orang tuamu dan menyampaikan niatan baik saya, yaitu ingin mengkitbah putrinya, Lihawa Kinanti Senja.
    Mereka sangat menyambut baik niatan saya namun keputusan jelas ada pada putrinya. Lihawa, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak dapat menjelaskan mengapa semuanya terjadi begitu saja. Saya harap kamu mau menemui orang tuamu karena saya sudah menyampaikan semuanya kepada kedua orang tuamu.
    Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


    Aya membaca suratnya perlahan dan seksama, mencari arti dari setiap kata yang tertulis. Kemudian tersenyum menatapku. Meskipun Aya menjelaskan ulang pertemuannya dengan Si Pengirim Surat. Namun logikaku masih belum menerimanya. Kembali kuingat wajah Si Pengirim Surat. Sudah lama kami tak saling bertemu. Bagaimana bisa ia tiba-tiba datang dan berniat menikahiku. Mungkinkah Aya berpikiran demikian? Tapi sepertinya Aya terlihat bahagia. Wajah ayu perempuan itu mengartikan bahwa ia ada pada pihak Si Pengirim Surat dan mendukungnya.
“Lalu apa lagi yang membuatmu ragu, Li? Sudah jelas dia mencarimu selama ini” Ujar Aya meyakinkanku.
“Semua ini belum bisa masuk ke dalam nalarku, Ya. Harus kupertimbangkan dengan baik jangan sampai salah memberikan keputusan, kamu juga tidak tahu apa yang terjadi selama ini”.
“Apa yang terjadi?” Wajah Aya mencari jawaban. Kemudian berbalik badan menatap jauh pekatnya malam dengan suara-suara binatang malam yang sudah biasa kudengar di rumah ini.
“Jadi kamu menyembunyikan sesuatu dariku selama satu tahun terakhir ini, meskipun tak henti-hentinya kita saling mengirim kabar?”
“Maafkan Aku, Ya” Aku memeluk sahabatku itu dari belakang. Rasa sesal merajuk. Menyesal atas apa yang aku sembunyikan selama ini terhadapnya.
^^^

    “Bunda.. Bunda bangun.. Ingga sudah bawakan Bunda bubur.. Bunda makan yah?” Ujar Jingga, satu mangkok bubur ia simpan diatas meja.
“Bunda.. Bunda kapan bangun.. Ingga mau cerita..” Malaikat kecil itu berambut pirang dengan dua ikat tali mengepang rambutnya. Menggemaskan.
“Ingga mau cerita, Bunda. Masa tadi Ingga bikin ibu guru menangis, tiba-tiba selesai Ingga tampil di depan kelas, ibu guru langsung meluk Ingga. Eraatttt banget..” Malaikat kecil itu ternyata sudah tumbuh menjadi anak yang pintar. Betapa tidak beruntungkah orangtuanya mempunyai gadis kecil yang semakin hari semakin tumbuh dengan baik. Cantik, cerdas, pintar, baik dan satu lagi yang membuatku gemas ingin mencubit pipi bapaunya. Jingga begitu cerewet, tingkahnya sama persis dengan ibunya, pintar berbicara. Aku tersenyum melihat wajahnya yang lugu.
“Bunda..” buih kecil mulai merambah di atas pipinya.
“Bunda.. Ingga kangen sama Bunda.. Bunda bangun...” Jingga mencium kening bundanya hingga air matanya menetes.
“Bunda... Bunda kenapa?! BUNDA....?!!! AYAH.....!!!! AYAH....!!!!.”
“AYAH BUNDA KENAPA?” Teriak gadis kecil itu kemudian Ayahnya menghampiri panik.
“Bunda... Ingga, Kamu telepon Om Yusuf! Bilang kita ke rumah sakit sekarang, ayah tunggu di mobil!” Perintah Ayahnya panik dan Jingga sekilat keluar kamar memenuhi perintah ayahnya.
    Jingga menangis tanpa henti. Karang mondar – mandir di depan ruang ICU. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Lantunan doa terus terpanjat, terlihat dari bibirnya yang tipis berkomat-kamit tanpa henti. Seorang wanita paruh baya setia berada disamping Jingga, terus berusaha membuat Jingga berhenti menangis, meskipun air mata jelas mengalir dari kelopak matanya.
“Gimana keadaan, Li?” Tanya Aya panik, memeluk Jingga, mengusap-usap rambut pirangnya.
“Bu Guru...” Jingga memeluk Aya dengan erat.
“Yusuf sudah di dalam sedang berusaha. Kita doakan semoga semuanya baik-baik saja”
“Pah! Gimana Li?” Aya menghampiri Yusuf yang keluar dari ruangan dengan gontai. Ia hanya menggelengkan kepala. Aya memeluknya.
“Nggak!” Karang histeris ditempelkan kepala ke arah tembok, memukul-mukul tembok dengan tangan yang mengepal.
“NGGAK MUNGKIN....!!!”
“BUNDA...!!” Jingga berteriak dan berhasil menerobos pintu ruang ICU, aku mengikutinya.
“Bunda bangun, Bunda bangun....!!!” Jingga menggoyang-goyangkan tubuh wanita yang tergeletak di kasur rumah sakit itu, ia terlihat tak berdaya, wajahnya pasi, tak ada tanda kehidupan disana.
TIDAK MUNGKIN!!
Aku histeris sejadi-jadinya. Bagaimana bisa aku melihat tubuhku sendiri terkujur kaku membiarkan anakku berteriak histeris. Meronta-ronta, membangunkan Bundanya yang mungkin sudah tidak bisa lagi mendengarkan ceritanya, melihat lukisan-lukisan karyanya. Memberinya sarapan, menjaganya sampai ia tertidur ketika malam.
Tuhan.. Inikah akhir ceritaku.. bagaimana bisa aku meninggalkan mereka. Meninggalkan orang-orang yang sangat aku sayangi.
TIDAK! TIDAK MUNGKIN!!!!...

^^^
    Pada akhirnya aku membeberkan apa yang terjadi selama satu tahun kepada Aya. Aya terkejut namun meyakinkanku dan membuatku sadar bahwa laki-laki yang penuh dengan janji palsunya itu hanya akan membuat hidupku terkatung-katung. Mungkin ini memang kesalahanku, selama ini aku menutupi semuanya dari Aya. Setelah malam resepsi pernikahan Aya, Angga teman sekampusku itu tiba-tiba menjadi sering menghubungiku. Kami memang sudah lama lulus dari universitas hanya saja sejak pernikahan Aya kami bertemu kembali bahkan setelahnya dia menjadi sering mengajakku untuk jalan berdua, kami menjadi semakin dekat dan saling bercerita, terlebih Angga yang sering curhat tentang mantan pacarnya Dista. Ya! Angga memutuskan Dista yang sering menututnya untuk melakukan hal yang tidak disukanya. Kemudian kami memutuskan berkomitmen dan menjalani hubungan yang lebih dari sekedar teman curhat. Angga juga yang membuatku kembali ke Jogja dan meninggalkan Kota Jakarta, mengajakku untuk mencari pekerjaan di kota kelahirannya, Solo.
    Namun selama hampir satu tahun kami berpacaran, Angga tidak pernah menunaikan komitmen dan janjinya untuk segera meresmikan hubungan kami. Untuk menemui orang tuaku saja dia sering membuat alasan-alasan yang membuatku semakin tak mempercayai keseriusannya untuk menikahiku.
    Setelah aku memutuskan untuk tidak kembali ke Solo dan memutuskan hubunganku dengan Angga. Aya, Ibu dan Bapak meyakinkanku untuk menerima lamaran Si Pengirim Surat. Laki-laki yang baru sekali kutemui di pernikahan Aya satu tahun yang lalu itu berani mengkhitbahku. Bahkan menemui orang tuaku terlebih dahulu sebelum bertemu denganku. Awalnya aku tidak yakin dengan semua isi suratnya. Mana mungkin baru bertemu sekali ia berani mengkhitbahku. Ternyata Aya menyeledikinya. Laki-laki itu adalah teman Dimas kekasihnya Via yang sengaja diajak kepernikahan Aya untuk dikenalkannya kepadaku. Tapi lelaki itu sempat mengurungkan niatnya dengan alasan 'nggak berani'.
    “Waktu itu kamu terlalu cuek dan susah untuk di ajak ngobrol, apalagi waktu Dimas memperkenalkan aku ke kamu, kamu menunjukan wajah yang biasa saja. Makanya aku menyerah. Aku takut.” ujar lelaki yang berada disampingku. Aku kembali mengingatnya. Malam itu banyak orang yang diperkenalkan kepadaku, perempuan maupun laki-laki tapi aku ingat ada satu orang laki-laki yang dikenalkan oleh Dimas tapi tidak mau berjabatan tangan. Dia laki-laki yang mengenakan baju berwarna biru yang membuatku ikut gabung berfoto bersamanya.
"Ternyata di dunia ini tidak ada hal yang mustahil, selama Allah berkenan dan kita  mau mewujudkannya. Bapak selalu mengajariku tentang kekuatan kun fayakun, Jadilah! Maka terjadilah sesuatu itu. Dan sesuatu yang telah tersurat di dalam takdirku itu terjadi begitu saja tanpa kusadari" Ujarku, senyuman indah terlihat dari sudut bibir laki-laki yang ada di sampingku ini.
    Kini dia adalah suamiku. Setelah aku berusaha untuk mengubur masa laluku bersama Angga, aku menerima lamaran Karang. Waktu itu untuk pertama kali setelah satu tahun akhirnya kami bertemu. Ia mendatangi kedua orang tuaku bersama keluarganya. Rombongan yang datang jauh dari Bandung ke Jogja itu membuatku terharu dan masih tak mempercayai apa yang sedang terjadi. Menurutku semua itu adalah cerita yang aneh. Tapi kami selalu mengulang ceritanya. Terutama saat malaikat kecil hadir di antara kami. Kami sering menceritakan bagaimana perjalanan Ayah dan Bundanya bertemu. Jingga hanya mengangguk mendengarkan dengan wajahnya yang sok dewasa. Kadang ia bertanya pada ibu guru kesayangannya tentang kisah kedua orang tuanya. Aya adalah guru Jingga di sekolah. Sejak kami menikah Aya dan Yusuf suaminya kembali tinggal di Indonesia terlebih Yusuf yang sudah menyelesaikan S2 kedokterannya di Singapura memutuskan untuk tugas di rumah sakit milik Ayahnya di Bantul, Jogjakarta.
    Ketika aku divonis memiliki kanker serviks Yusuf menjadi dokter pribadiku. Aku berusaha dengan keyakinanku bahwa aku akan sembuh. Karang, Jingga, Aya, Yusuf, Ibu dan Bapak membuatku begitu kuat menjalani terapi demi terapi. Namun kenyataan berkata lain. Penyakitku semakin menggerogoti tubuhku. Bahkan membuatku tak bisa meninggalkan tempat tidur. Aku meminta Yusuf agar aku dirawat di rumah saja. Agar aku bisa terus mengawasi Jingga.

^^^
    Bulatan jingga terlihat semakin menyentuh lautan. Membuat selarik cahaya memanjang hingga pantai. Menghasilkan sebuah tebing terjal menjadi sebuah siluet yang indah. Sepertinya angin darat sedang tidak bersahabat dengan para nelayan petang ini. Angin bertiup begitu kencang. Sangat bahaya jika mereka kekeuh untuk pergi berlayar. Terlihat ombak bergerak begitu ganas. Kapal-kapal kecil di tepi pantai bergoyang-goyang, tentu saja tali sudah mengikatnya untuk tidak pergi terbawa ombak ke tengah lautan lepas.
    Aku menatap warna jingga yang pekat itu dengan perasaan silu. Kulihat pula menjulang tinggi sebuah tebing yang begitu curam dengan karangnya yang kokoh tak terkikis walau ombak dan badai menghatamnya. Namun mengapa Karang yang berada di depanku ini terlihat begitu rapuh?. Aku berusaha menyentuh tangannya yang kini mulai tak bisa bisa kugenggam. Mungkin seharusnya angin segera membawaku hilang ketika aku justru membuat buih menetes di pipi Karang. Ya tuhan segera bawa aku pergi. Aku tak ingin melihat laki-laki yang sudah menjadi imamku selama tujuh tahun ini begitu terluka. Hatinya merambas. Tangisnya terdengar begitu parau. Karang berhentilah menangis. Aku tak sanggup melihatnya terlebih lagi aku tak mampu menghapus air matamu. Jingga. Bagaimanakah dengan malaikat kecilku itu. Kuatkah ia menerima kenyataan bahwa Bundanya tak mungkin lagi berada di sampingnya. Karang saja begitu rapuh bagaimana dengan Jingga. Kuatkah ia menerimanya. 

“Ayah...” Jingga menghampiri Ayahnya. Segera mungkin Karang menghapus air matanya. Jingga tak boleh melihatnya menangis.
“Ayah tahu tidak kenapa aku melukis ini?” Jingga menunjukan sebuah lukisan yang ada di tangannya.
“Kenapa sayang?”
“Karena aku tahu kalau ayah sangat menyukai senja. Disini ada matahari terbenam, ombak besar yang setiap waktu tanpa henti menghentak karang dan ada jingga yang melengkapi keindahannya.”
Karang diam merenung. Sementara Jingga begitu antusian menunjukan lukisannya, tata letak objek yang ia gambar dengan wajah lugunya.
“Aku tahu ayah sedih telah kehilangan Senjanya Ayah. Aku tahu Ayah tidak ingin Bunda pergi. Tapi aku ikhlas kok, ayah juga harus ikhlas. Karena.. kita bisa melihat ibu di depan sana.” Jingga menunjuk ke arah lautan.
“Maafkan Ayah sayang, ternyata ayah lebih rapuh daripada kamu, malaikat kecil Ayah dan Bunda, kamu begitu kuat dibandingkan ayah. Mungkin ini memang saatnya ayah mengikhlaskan kepergian Bunda, agar..” Karang menarik napasnya panjang.
“Agar Bunda bisa pergi dengan tenang.. Kamu benar, kita masih bisa melihat Bunda dari sini, karena...”
Karena aku adalah senja yang akan selalu hadir di setiap petang meskipun pekat akan kembali membuatku hilang, tapi percayalah suamiku, aku akan selalu datang menemuimu disini. Aku tahu kamu adalah karang yang tak akan pernah terkikis meski ombak menghentakmu tanpa henti. Jingga kamu adalah pelengkap senjaku. Teruslah bersinar, jinggaku. Karena karang akan semakin kuat ketika menatapmu di antara senja yang semakin hilang dan berlalu. Ayah dan Jingga harus mengikhlaskan Bunda untuk pergi dari sisi kalian. Percayalah kita akan berkumpul kembali di surga-Nya, selamanya kita akan bersama, tanpa harus menunggu senja tiba.



~ The End ~

2 komentar:

Unknown said...

Masya allah bagus banget inimaaaaaaah
jadi pengen ada yang tiba2 minta bertaaruf wkwkwk
abonggggg asa udah kayak orang jawa ae teh ayu, settingannya jogja solo
btw, diksi nya mantep lah teh

Ayu Sastra said...

setidaknya tahu solo sama jogja citt 😄
belum aja mas yang di surabaya di masukin ke peran ini baru mas angga sama mas karang 😍